Indonesia dianugerahi Allah SWT hutan yang sangat luas, bahkan salah satu yang terluas di dunia. Untaian pulau-pulau hijau yang terletak di antara dua benua dan dua samudera itu kemudian tersohor dengan julukan zamrud khatulistiwa. Udara segar yang dihasilkannya menyebabkan Indonesia juga dikenal sebagai paru-paru dunia.
Seperti spons, air hujan yang jatuh diserap oleh hutan dan dialirkan sedikit demi sedikit, sehingga menjamin ketersediaan air jernih bagi seluruh makhluk hidup. Dalam konteks SDGs, menurut Ibu Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, hutan tidak hanya berperan dalam sumber air, tetapi juga mencegah perubahan iklim, makanan, energi, kesehatan, bahkan ekonomi masyarakat. Sebabnya, hutan bisa menjadi destinasi ekowisata yang mendatangkan profit.
Namun demikian, kerusakan hutan terus terjadi. Berdasarkan data yang dirilis KLHK, deforestasi Indonesia pada tahun 2016 – 2017 mencapai angka 496.370 hektare. Jumlah ini setara dengan 1904 hektare per hari atau 79 lapangan bola per jam. Kerusakan ini bisa berdampak pada global warming yang semakin bisa dirasakan efeknya. Bumi semakin panas. Cuaca tidak menentu. Hal ini dapat berpengaruh negatif terhadap sektor pertanian yang merupakan salah satu sektor andalan negara yang menyerap paling banyak tenaga kerja.
Isu kerusakan hutan adalah isu global, tapi sebetulnya solusinya bisa dilakukan secara personal. Pemerintah pun tidak bisa mengelola hutan sendiri, karena terbatasnya anggaran dan luasnya hutan yang tersebar di ribuan pulau.
Anggaran di KLHK, menurut Pimpinan Komisi VII DPR RI Herman Khoeron pada Environmental Outlook 2018, hanya sekitar Rp 7 triliun per tahun, sedangkan hutan yang harus dijaga seluas 124 juta hektare. Ini belum termasuk lingkungan hidup. Bila rata-rata Rp 6 triliun dibagi 124 juta hektare, maka dana untuk pengelolaan hutan hanya sekitar Rp 48 ribu atau tidak sampai 4 dolar AS per hektare setiap tahun.
Anggaran pengelolaan ini, menurut Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Darori pada tahun 2012, merupakan yang terendah di dunia. Masih jauh dengan anggaran Malaysia sebesar 18,5 dolar AS per hektare.
Sebetulnya, meski jauh di atas Indonesia, anggaran Malaysia pun dianggap masih belum cukup menurut kajian Adzidah Yaakob dkk pada tahun 2017, karena dana tersebut hanya cukup untuk membiayai program konservasi hutan yang sudah ada saja. Oleh sebab itu, jelas bahwa pengelolaan hutan di Indonesia memang membutuhkan alternatif sumber dana baru.
Alternatif dana wakaf untuk kelola hutan
Dalam hal ini, wakaf bisa jadi solusi. Setidaknya terdapat tiga alasan. Pertama, wakaf cocok untuk menjamin kelestarian hutan karena karakteristiknya yang tidak bisa dijual (laa yuba’), dihibahkan (laa yuuhab), atau diwarikan (laa yuurats), atau singkatnya tidak dapat dipindahtangankan ke pihak lain.
Wakaf mirip dengan sedekah, sama-sama bersifat sunnah (tidak wajib seperti zakat), tapi bedanya, wakaf tidak boleh dihabiskan pokoknya, sehingga ketika sebuah daerah ditetapkan sebagai kawasan hutan wakaf, maka selamanya akan menjadi hutan dan tidak boleh diganti menjadi kawasan lainnya seperti pertambangan. Aset wakaf ini nantinya perlu dikelola secara produktif, sehingga maksud dari wakaf dapat tercapai: “menahan pokok, mengalirkan manfaatnya”
Kedua, potensi wakaf yang besar. Potensi wakaf uang menurut Nasution (2005) mencapai Rp 3 triliun/tahun, belum termasuk wakaf lainnya seperti wakaf tidak bergerak: tanah. Dengan potensi yang besar itu, kita dapat membeli banyak sekali hutan-hutan wakaf, karena harga tanah hutan yang jauh dari keramaian relatif lebih murah dibandingkan dengan harga tanah lainnya.
Ketika penulis melakukan penelitian hutan rakyat di sebuah desa di kecamatan Leuwiliang Kabupaten Bogor pada tahun 2009, tanah hutan seharga Rp 5000/meter masih banyak dijumpai. Di luar Jawa harga tanah bisa lebih murah lagi. Tahun 2008, ketika penulis magang di salah satu perusahaan Hutan Tanaman Industri di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, harga tanah tidak dijual per meter, tapi per hektare saking luasnya tanah yang tersedia. Waktu itu penulis masih menjumpai tanah seharga Rp 1 juta/hektare.
Ketiga, wakaf hutan didukung oleh agama Islam yang ramah lingkungan. Allah SWT memerintahkan kita agar senantiasa menjaga kelestarian alam.Menariknya, Allah SWT menyebutkan kata “pohon” dalam Al Qur’an sebanyak 26 kali (Özdemir, 1998). Salah satu contohnya dalam surat Ibrahim ayat 24 – 25:
Tidakkah kami perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabbnya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.(QS. Ibrahim:24-25).
Dalam surat Ar-Rahman ayat 5 – 9:
Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan, dan tumbuh-tumbuhan (atau bintang-bintang) dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya),dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan, agar kamu jangan merusak keseimbangan itu…(QS. ar-Rahman:5-9)
Lebih lanjut Rasulullah SWT menyuruh kita agar menanam pohon, meski besok akan kiamat: “Jika kiamat telah datang, dan ketika itu kalian memiliki sebuah bibit, maka tanamlah.“ (HR Al Bazzar)
Semua ini mengisyaratkan pentingnya pohon dan hutan. Bila air adalah sumber kehidupan (QS Al Anbiya: 30) dan pohon dapat menjaga supply air, maka pohon juga merupakan sumber kehidupan bagi manusia, dan makhluk lainnya.
Program wakaf pohon
Inilah sebabnya berbagai yayasan dan ormas Islam berinisiatif mengembangkan wakaf pohon. Sebagai contoh, Tabung Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika pada tahun 2007 meluncurkan program “Wakaf Pohon”. PP Muhammadiyyah melalui Lembaga Lingkungan Hidupnya pada tahun 2010 membuat program “Gerakan wakaf dan Tanam Pohon Warga Muhammadiyyah” untuk mengatasi masalah peningkatan emisi.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampak bahwa pengelolaan hutan yang berkelanjutan dapat juga didukung oleh wakaf. Gambaran skema yang dapat dibuat sebagai contoh: masyarakat sebagai pihak yang berwakaf (wakif) berwakaf uang kepada pengelola wakaf (nadzir).
Dengan wakaf uang, nadzir bisa membeli hutan/lahan untuk dijadikan hutan wakaf, dan mengelolanya secara produktif dan sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam pasal 42 dan 43 Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Wakaf hutan dapat dikelola menjadi ekowisata, produsen madu hutan, atau pertanian yang diintegrasikan dengan kehutanan dengan konsep agroforestry. Keuntungan yang didapat bisa digunakan untuk menutupi biaya pengelolaan dan pengembangan, termasuk mendapatkan hutan-hutan baru, sehingga luasan hutan dapat terus bertambah.
Kedepannya, alangkah baik jika wakaf tidak hanya diarahkan ke dalam kegiatan ibadah, pendidikan, atau pemakaman, tetapi juga lingkungan hidup yang dalam hal ini sektor kehutanan. Masyarakat perlu terus diedukasi agar memahami wakaf dan pentingnya menjaga lingkungan. Di sisi lain, nadzirjuga harus semakin amanah, akuntabel, dan inovatif, sehingga semakin dipercaya oleh masyarakat.
“Bila pohon terakhir telah ditebang,
Bila tetes air terakhir telah tercemar,
Dan bila ikan terakhir telah ditangkap,
Barulah manusia sadar,
Bahwa uang tidak bisa dimakan.” ~ pepatah Indian (*) khalifahma@apps.ipb.ac.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!