oleh Khalifah Muhamad Ali
Pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Masyarakat IPBMEMPERTAHANKAN hutan negara acap lebih mudah ketimbang hutan adat atau hutan hak. Hutan adat atau hutan rakyat adalah hutan milik masyarakat. Mereka bisa menggunakannya sesuai dengan kebutuhan: menjadi sawah karena lebih menguntungkan atau dibabat untuk permukiman akibat populasi yang meningkat.
Cara mempertahankan hutan rakayt bisa melalui hutan wakaf, seperti praktik di Desa Cibunian Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, di kaki Gunung Salak. Pada akhir November 2015 daerah ini longsor. Tiga rumah ambruk dan 53 rumah rusak sehingga 192 penduduk diungsikan ke lokasi yang lebih aman. Selain itu, musibah ini juga membuat ratusan ton ikan mas milik 18 peternak mati mendadak. Longsoran juga menyebabkan jalan kampung terputus. Sepanjang 500 meter badan jalan rusak karena amblas.
Kecamatan tempat desa ini memang tergolong rawan longsor. Penelitian Rahayu (2016) menyebutkan bahwa kecamatan ini memiliki 17 titik longsor sepanjang tahun 2011-2015 dan tingkat kerawanan longsor dengan kategori rawan sebesar 81,5% atau seluas 10.215,28 hektar. Longsor yang terjadi di Kecamatan Pamijahan, termasuk Desa Cibunian, terjadi akibat banyaknya perumahan yang dibangun di tebing yang curam.
Hutan di Desa Cibunian yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) ini harus dipertahankan, khususnya pada tanah dengan kemiringan tajam. Penduduk mengembangkan hutan wakaf untuk menjaga hutan mereka sekaligus menjaga taman nasional.
Hutan wakaf adalah hutan yang dibangun di atas tanah wakaf. Hutan hak dibeli dengan dana wakaf untuk kemudian diwakafkan, sehingga kepemilikannya berpindah dari milik pribadi menjadi milik Allah SWT dan digunakan untuk kepentingan umum.
Dalam ajaran agama Islam, wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Selain itu, wakaf yang telah ditentukan peruntukannya tidak diperkenankan untuk diubah fungsinya. Sekali sebuah tanah ditetapkan sebagai hutan wakaf, selamanya harus dikelola sebagai hutan.
Utsman bin Affan RA 14 abad yang lalu pernah berwakaf sumur di Kota Madinah, dan sampai sekarang sumur tersebut tetap eksis. Airnya dimanfaatkan untuk mengairi kebun kurma. Kurmanya dijual, hasil penjualannya dimanfaatkan untuk pengembangan wakaf. Konsep inilah yang membuat hutan wakaf lebih terjamin kelestariannya hingga hari kiamat.
Hutan wakaf selain dilindungi oleh hukum negara, juga dibentengi oleh hukum agama. Bila ada orang yang menyalahgunakan peruntukan hutan wakaf, urusannya tidak hanya di mahkamah dunia, tapi juga mahkamah akhirat. Berdasarkan Undang-Undang No 41 tentang Wakaf, setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukan harta benda wakaf tanpa izin, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Rasulullah memerintahkan agar wakaf dipertahankan dan tidak diubah. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, beliau bersabda kepada ‘Umar bin Khattab saat beliau hendak mewakafkan kebunnya yang merupakan hartanya yang paling berharga di Khaibar, “Tahan pokoknya, dan sedekahkan hasilnya”. “Tahan pokoknya” artinya menjaga asetnya agar tetap eksis, adapun “sedekahkan hasilnya” maksudnya adalah agar aset yang ada dikelola secara produktif agar terus bermanfaat bagi kepentingan manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
Oleh sebab itu, bila ada orang yang mengubah fungsi wakaf yang tidak sesuai dengan yang diamanahkan oleh pewakaf (wakif), dia telah menyelisihi perintah Rasulullah SAW. Misalnya, jika terdapat seseorang yang menjual tanah wakaf untuk kepentingan yang menyelisihi amanah wakif, maka dia diancam dengan siksa yang pedih di akhirat. Rasulullah bersabda, “kezaliman itu kegelapan di akhirat” (HR Al Bukhari dan Muslim). Siapa yang zalim, yang tidak menempatkan sesuatu pada tempatnya, termasuk menyalahgunakan peruntukan wakaf, maka itu menjadi sumber malapetaka baginya di hari pembalasan.
Hutan wakaf di Desa Cibunian dikembangkan pada 2018, sebagai salah satu solusi mencegah longsor yang kerap terjadi. Bermula dari seorang wakif yang mewakafkan tanah miliknya seluas 1500 meter persegi yang berlokasi di Kampung Muara Satu Desa Cibunian kepada sebuah yayasan wakaf (nadzir) untuk dikelola sebagai hutan wakaf. Tanah tersebut merupakan tanah sawah yang dulunya adalah hutan.
Nadzir berupaya untuk menghutankan kembali lahan tersebut. Di antara usaha yang dilakukan adalah menjamin kerjasama dengan berbagai pihak. Sebagai contoh, nadzir akan menjalin kerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) untuk kegiatan penanaman dan perawatannya selama tiga tahun ke depan.
Kegiatan penanaman tidak dilakukan secara sembarang, tapi dengan perencanaan yang matang. Seorang arsitek lansekap dan sarjana kehutanan telah mewakafkan ilmunya untuk membuat site plan secara cuma-cuma. Pemilihan jenis tanaman dilakukan dengan penuh pertimbangan, agar dapat memberikan manfaat ekologi, ekonomi, dan sosial yang maksimal sesuai dengan prinsip sustainable forest management (SFM).
Misalnya, karena di lahan tersebut terdapat mata air yang dimanfaatkan warga untuk keperluan sehari-hari, perlu ditanam beberapa pohon beringin. Akarnya yang kuat dapat mencengkram batu dan tanah, sehingga dapat berfungsi sebagai pondasi mata air alami. Selain itu, biji pohon beringin dapat menjadi pakan bagi burung-burung. Ini kata Rasulullah juga termasuk sedekah, beliau bersabda, “Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani, lalu burung atau manusia atau hewan memakan hasilnya, kecuali semua itu dianggap sedekah baginya” (HR Al Bukhari)
Sistem tanam tumpang sari (agroforestri) juga bisa diterapkan. Agroforestri adalah sistem tanam yang memadukan tanaman pertanian dengan kehutanan sebagai optimalisasi ruang vertikal. Sistem ini juga dapat menghasilkan pendapatan jangka pendek dari tanaman pertanian. Tanaman pertanian yang dipilih adalah edamame yang memiliki banyak manfaat seperti meningkatkan daya tahan tubuh, mencegah hipertensi, dan mengurangi risiko kanker.
Adapun tanaman kehutanan di atas tanaman edamame yang dipilih adalah pohon pinus (Pinus merkusii), sebab selain indah, harum, dan menyejukkan, pohon ini identik dengan tropical forest dan dapat menjadi habitat satwa seperti tupai.
Nadzir juga menerima wakaf berupa bibit pohon unggul dari masyarakat untuk ditanam di hutan wakaf. Saat ini ada donatur yang berwakaf bibit durian terbaik untuk ditanam di hutan wakaf. Harapannya, bibit tersebut dapat tumbuh dan berbuah dengan baik. Hasil panen durian dapat dijual secara komersial, namun keuntungannya harus dimanfaatkan untuk pengelolaan dan pengembangan wakaf.
Selanjutnya, nadzir yang mengumpulkan wakaf uang dari masyarakat dapat membeli tanah di sekitar hutan wakaf yang telah ada untuk perluasan. Pada bulan Juni 2019, nadzir telah membeli lahan seluas 1200 meter persegi untuk pelebaran hutan wakaf, sehingga luasnya sekarang telah mencapai 2700 meter persegi.
Jadi, donasi untuk membangun hutan wakaf dapat dilakukan dengan berbagai cara: dalam bentuk donasi lahan, donasi uang, donasi bibit, dan bahkan dalam bentuk wakaf ilmu seperti memberikan konsultasi secara cuma-cuma. Semua itu bila dilakukan dengan ikhlas, akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang terus mengalir meski yang berwakaf sudah meninggal dunia. Rasulullah bersabda, “Bila seseorang meninggal dunia, terputuslah semua amalnya kecuali tiga amalan: sedekah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya” (HR Muslim).
Sampai saat ini, masyarakat Indonesia secara umum masih memahami wakaf secara terbatas. Wakaf identik dengan masjid/musholla, lembaga pendidikan, dan kuburan. Padahal, wakaf bisa juga dikembangkan dalam program-program pelestarian lingkungan seperti wakaf hutan.
Selain di Bogor, hutan wakaf telah dikembangkan di Aceh dan Bandung. Saya optimistis, potensi wakaf yang mencapai Rp 180 trilun/tahun (BWI, 2018) dapat menjadi bagian dari solusi atas penggundulan hutan yang semakin memprihatinkan
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!